Thursday 14 July 2016

Duka Untuk Azly Kecil

Sangkulirang ...
Buat yang sudah pernah membaca novel saya "Wanita di Lautan Sunyi", pasti tahu nama desa kecil ini. Desa yang saya jadikan setting tempat dalam novel tersebut.
Sangkulirang bukanlah sebuah tempat fiksi, ia sungguh ada. Terletak di dekat Tanjung Mangkaliat, pantai timur Kaltim. Desa yang sangat bersejarah bagi saya, tempat saya lahir dan dibesarkan. Saya meninggalkan Sangkulirang sekitar tahun 1985. Seluruh keluarga besar pindah ke Samarinda. Sejak saat itu, saya belum pernah pulang lagi. Meski kenangan tentangnya tak pernah hilang dari ingatan.

Dahulu, untuk sampai ke Sangkulirang, kami harus naik kapal kayu. Melintasi sungai, lalu menuju Laut Sulawesi. Dari Samarinda berangkat sekitar pukul 15.00. Semalaman kami akan terombang ambing di lautan tak bertepi. Kalau cuaca bersahabat dan gelombang tak tinggi, sekitar pukul 11.00 pagi, kapal kami akan merapat di pelabuhan sekaligus pasar Sangkulirang.

Meski jauh dari kota, Sangkulirang bukanlah desa terbelakang. Saat PLN belum masuk dulu, desa ini telah terang benderang dialiri listrik dari mesin diesel milik beberapa warga. Siaran televisi Malaysia dan tayangan film laga atau India dari pemutar video adalah tontonan favorit. Jalan utama telah diaspal. Kapal-kapal besar berbendera Jepang atau Korea sering sekali merapat. Mengangkut kayu dan hasil bumi lainnya. Masyarakatnya dinamis dan terbuka pada perubahan. Sebagian besar penduduk asli Sangkulirang, terikat pertalian keluarga.

Samar-samar bayangan Sangkuliran hadir lagi. Beberapa peristiwa masa kecil kembali berputar.

Pernah suatu siang, orang-orang berlarian menuju sumur di samping Balai Desa. Wajah-wajah panik para lelaki, ditingkahi teriakan anak-anak.

"Ada anak tenggelam masuk sumur! Ada yang tenggelam masuk sumur!"

Semua tegang, bergotongroyong mencoba menyelamatkan. Mengulurkan tali. Menguras isi sumur. Ada juga yang menceburkan diri ke dalam sumur. Namun, anak itu tak selamat. Saat diangkat dari dalam sumur, ibunya menangis tersedu-sedu. Suara tangisnya begitu menyayat. Suara tangisan yang sampai sekarang rasanya tak mau lepas dari memori saya.
Hingga berbulan-bulan, kejadian itu menjadi semacam teror bagi kami. Sumur-sumur dipagar siring tinggi. Orangtua menjadi paranoid, melarang kami anak-anak kecil, bahkan hanya sekadar mendekati sumur.

Teror lain yang menghantui kami dulu adalah, bila musim ombak mengamuk di lautan. Rasanya desa kecil kami benar-benar jauh dari mana-mana. Terisolasi. Berita orang hilang ditelan ombak ganas begitu menakutkan. Hilang tak ditemukan, tanpa berita. Meninggalkan nelangsa panjang bagi keluarganya.

Suatu pagi buta, pernah juga terdengar teriakan-teriakan murka di jalanan. Suara kaki-kaki berlari tergesa. Kami, anak-anak meringkuk takut dalam pelukan ibu. Dalam hati bertanya-tanya, "Ada apa?" Dan paginya, kami melihat darah segar berceceran di jalanan. Rupanya terjadi perkelahian antar warga suku pendatang. Dendam tak berkesudahan antar keluarga.

Sangkulirang adalah desa kecil. Kabar peristiwa tragis, akan cepat menyebar dan seolah meneror warga. Tak ada warga  bercengkerama usai shalat Isya di masjid. Malam menjadi lebih sunyi.

Lama saya tak mendengar kabar tentang Sangkulirang, Sungguh, rasanya seperti tersengat ketika mendengar berita tentang Neysa Nur Azlya. Mata saya langsung melotot dan jantung berdegup kencang. Azly, gadis kecil 4 tahun yang bercita-cita menjadi hafizhah itu, tinggal di Sangkulirang.

Kamis, 7 Juli 2016, Azly kecil menghilang dari rumah. Di tengah keceriaan silaturrahiim dan Idul Fitri, ia dibawa entah ke mana. Saksi yang melihat mengatakan seorang lelaki tetangga dekat Azly, membawanya naik sepeda motor. Wallahu a`lam, apakah memang lelaki itu yang menghabisi Azly.

Neysa Nur Azlya Allahu yarham


Hingga empat hari, tak ada kabar berita. Penuh debar, saya terus mengikuti perkembangan berita ini di linimasa. Di berbagai grup keluarga dan teman-teman, sudah mulai menyebar berita hilangnya Azly. Saya mengirimkan permintaan berteman di FB pada beberapa keluarga dekat Azly.

Lalu, 10 Juli, tersiarlah kabar Azly telah ditemukan tak bernyawa. Saya menangis terisak. Membayangkan, ibu Sabnah,  ibunda Azly. Pasti hancur hatinya mendapati buah hatinya dalam kondisi tewas karena disiksa dan dibakar penculiknya.
Suara tangisan ibu yang anaknya tenggelam di sumur dulu, seolah bisa saya dengar kembali di telinga. Menggema, menyayat hati. Seolah film bergerak di ingatan, saya  bisa melihat para lelaki berlarian mengangkat Azly kecil. Membawanya ke RS Pratama Sangkulirang. Saya seolah melihat wajah-wajah duka dan tegang itu. Wajah-wajah yang mungkin masih terdapat pertalian darah dengan saya.

TKP  Azly ditemukan

Ah, terbuat dari apakah hati sang pelaku? Entah apa motifnya, menghabisi Azly yang ceria dan lucu. Menyiksanya, lalu membakar tubuh mungilnya. Membuangnya di semak-semak dan menutupi jasadnya dengan dedaunan dan sabut kelapa.
Berdesakan tanya di pikiran saya. Apa salah Azly? Apa motif pelaku? Mengapa ia dibakar? Berbagai tanya yang semakin membuat sesak dada. Kepergiaan Azly yang tragis, saya yakin tidak hanya meremukkan hati keluarga dekatnya. Seluruh warga di Sangkulirang pasti merasa kehilangan. Dan hingga berbulan-bulan ke depan, kejadian ini menjelma menjadi teror menakutkan. Mungkin akan membuat para orangtua  berubah paranoid. Melarang anak-anaknya bermain agak jauh dari rumah. Mengamati setiap aktivitas anaknya. Seperti yang kami alami dulu.

Orang yang diduga pelaku belum juga ditemukan. Ada yang mengatakan lelaki itu melarikan diri ke Sangatta. Ada pula yang menduga ia lari ke Berau. Teror semakin meluas dan menyebar. Bagaimana jika si pelaku kejam itu berbuat ulah di tempat lain?

Sungguh, saya berharap pihak berwajib segera menuntaskan kasus ini. Menghukum pelaku dengan hukuman berat, agar menimbulkan efek jera. Masih segar ingatan kita dengan kisah kematian Angelina yang menghebohkan. Hanya sebentar perhatian kita tertuju ke sana. Lalu, kasusnya menghilang dari beranda kita, ditelan peristiwa lainnya. Kini, ada kisah Azly kecil yang malang. Dan tentu kita semua berharap, kejadian tragis seperti ini tak pernah lagi menimpa anak-anak kita.


Foto-foto saya ambil dari sini:

http://kaltim.tribunnews.com/2016/07/11/jasad-azly-ditemukan-terbakar-keluarga-tolak-otopsi
http://www.jpnn.com/read/2016/07/11/452957/Hilang-Balita-Cantik-Ditemukan-Terpanggang-Diperkosa-




Sunday 3 July 2016

Jangan Kerdilkan Mereka

       Beberapa bulan lalu, saya sempat enggak percaya waktu mendengar seorang teman bercerita. Jadi, pernah suatu hari terjadi keributan kecil di kantornya. Seorang ibu datang ke kantor jurusan dan marah-marah. Penyebabnya karena sang anak, terancam enggak bisa ikut sidang akhir, karena terlambat mengumpul berkas. Enggak jelas kenapa si anak terlambat mengumpul, yang jelas si ibu marah karena anaknya tidak mendapatkan dispensasi.

: "Eh itu anaknya ke mana? Kok ibunya yang turun gunung?"
* "Enggak tahu anaknya di mana."

: "Anaknya perempuan?"

* "Laki-laki."
: "Hmm ... S1?"
* "S2. Sudah menikah lagi."
Dezigh!! *nyubit pipi sendiri*


        Eh, kok akhirnya mengalami sendiri kejadian yang mirip. Baru beberapa minggu lalu ada kejadian. Seorang bapak menelepon suami saya. Anaknya terancam tidak bisa ikut wisuda semester ini, karena ada satu persyaratan yang tidak bisa dipenuhi. Sang bapak meminta anaknya mendapat pengecualian. :(

           Lagi-lagi pertanyaan yang sama muncul di pikiran saya
Itu anaknya pada ke mana? Kenapa para orangtuanya yang turun tangan? Apa enggak bisa mengurus sendiri masalah-masalah yang sebenarnya disebabkan oleh keteledorannya sendiri? 

        Beberapa hari ini, saya merasa diteror oleh dering telepon. Bolak-balik saya dihubungi oleh nomor yang sama dengan permintaan agar saya membujuk suami saya. Sang anak, gagal lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Bapak itu meminta saya bertanya pada suami, ada "jalur belakang" enggak buat anaknya agar pasti keterima di jalur mandiri nanti--setelah SNMPTN, ada ujian mandiri di masing-masing  PTN. "Tolong dibantu," katanya. 
Hellow!! :( 
Ketika permintaan itu saya tolak halus, dering telepon makin meneror. Akhirnya, saya tolak tegas, eh malah saya yang dimarahi. Heuheu.

          Sehabis dimarahi itu, hati saya bertambah perih rasanya.
Bukan! Bukan karena dimarahi orang, tapi karena pertanyaan-pertanyaan besar semakin memberati pikiran.
Jelas ada sesuatu yang salah yang tanpa sadar sudah kita lakukan pada anak-anak kita. Hingga menyelesaikan masalahnya sendiri, mereka "tak bisa". Atau bisa sebenarnya, tapi kita yang tak percaya mereka bisa.

Mungkin berawal dari:
"Sini Mama suapin makannya, biar enggak berantakan."
"Sini, Mama kancingkan bajunya. Biar cepat."
"Biar Papa yang bawakan, tas kamu berat banget."
"Sini Papa aja yang urus. Kamu kan masih kecil."

ARGGGH!

      Jadi ingat, waktu Naila masuk Youchien (TK di Jepang). Kami para orangtua dilarang membawakan barang anak-anak begitu sampai di gerbang sekolah. Anak-anak harus berlatih mandiri dan bertanggungjawab. Ajaran yang kecil, tapi membekas banget. *Nanti kapan-kapan saya tulis di blog ini deh, insya Allah.*

Ya Allah, tolong bantu kami para orangtua ini, agar mampu mendidik anak-anak kami menjadi generasi yang kuat.

”Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar."
(QS. An Nisaa ayat 9)

        Saya mengartikan lemah di sini, lemah imannya, lemah kecerdasannya, lemah kemampuan (skill)nya dan lemah kemandiriannya. Na`udzubillah tsumma na`udzubillah.


Sunday 27 April 2014

Ketika Kata Berlarian



“Buntu! Bingung mau nulis apa!”

Wah, kalau kalimat itu diungkapkan oleh para penulis, benar-benar masalah besar.
Jika diibaratkan penulis adalah seorang tentara, maka kata-kata adalah senjatanya. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika tentara kehilangan senjata? Dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk menjalankan tugasnya. Heuheu.

Pernah mengalami?
Saya pernah. Sering bahkan :(

Dulu, kalau saya terserang “penyakit” ini, ya sudah … saya berhenti dulu menulis. Percuma saja memaksakan diri. Tapi, bagaimana kalau tulisan itu harus segera selesai dalam jangka waktu tertentu. Ada tenggat waktu yang ketat. Saya harus benar-benar “memaksa” otak, menelisik kata yang sedang bersembunyi, entah di mana.

Salah satu yang biasanya saya lakukan ketika mengalami kebuntuan itu adalah membaca. Membaca apa saja. Saya mengambil salah satu buku di rak buku, secara acak. Lalu membuka halaman-halamannya secara acak juga. Halaman berapa pun yang terbuka, halaman itulah yang harus saya baca.

Dan … keajaiban terjadi.

Saat itu, saya baru saja akan memulai menulis novel “Wanita di Lautan Sunyi.” Plot dan alur sudah saya susun rapi. Begitu juga karakter tokoh, setting, konflik dan seterusnya. Semua unsur intrinsik yang harus ada dalam sebuah novel sudah saya rancang. Tapi … saya belum bisa menulis juga. Bingung, mau mulai dari mana? Kalimat apa yang harus saya tuliskan sebagai pembuka? *garuk-garuk kepala*

Secara acak, tangan saya mengambil sebuah buku bersampul hitam, judulnya “Atlas Sejarah Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin.” Kebetulan, tangan saya memang menjangkau bagian rak buku yang berisi buku-buku sejarah semuanya. Saya keget juga, kenapa buku ini yang saya ambil? Apa hubungannya antara novel yang akan saya tulis dengan sejarah? Tapi, ya … saya memang enggak boleh milih. Aturan itu kan saya sendiri yang membuat. :p

 Cover buku Atlas Sejarah dan Novel saya "Wanita di Lautan Sunyi"

Saya buka halamannya secara acak, dan terbukalah halaman 36-37.  Saya baca terus, hingga sampai di paragraf kedua, halaman 37. Di sana tertulis sebuah peribahasa Arab yang berbunyi:
“Inkunta riihan faqad laa qaita i`shaaran.”
“Jika dirimu adalah angin, boleh jadi engkau akan bertemu badai.”

Ini isi halaman 37, paragraf ke-2.


Dzing! #$%

Seolah-olah ada embusan angin yang meniup tengkuk saya. Saya merinding. Memori akan Sangkulirang yang berada di tepi laut membayang cepat. *FYI, Sangkulirang adalah tempat yang saya jadikan setting novel “Wanita di Lautan Sunyi.* 

Otak saya sepertinya langsung bekerja cepat, berbagai peristiwa di dalam calon novel saya membayang-bayang di depan mata. Sang tokoh akan mengalami ini dan itu. Lalu si ini begitu, dan seterusnya.

Gegas saya duduk di meja kerja dan membuka laptop. Saya sudah menemukan “AHA!” saya.
Harus segera ditulis, sebelum kilatan-kilatan itu padam dan saya kehilangan. Alhamdulillah, kalimat pembuka sudah saya dapatkan dan Allah membuat jemari saya lancar menari di atas tombol-tombol huruf di laptop.

Apakah ini kebetulan? Izinkan saya memaknai ini sebagai bentuk pertolongan Allah. Ilham dan petunjuk-Nya. Saya yakin, tak ada yang kebetulan di dunia.

 Peribahasa Arab tadi saya jadikan pembuka di bab satu


Apakah saya pernah “gagal”? Tetap mengalami kebuntuan menulis padahal sudah melakukan cara ini? Mengambil buku, membuka halaman secara acak, lalu membacanya. Tetapi, “AHA!” itu tidak juga saya temukan. Oh, pernah juga. Pernah. Tetapi, setidak-tidaknya saya tetap dapat pengetahuan baru dari apa yang saya baca. Jadi, tetap tak ada yang sia-sia, kan. Teuteup, hahaha  ;)
 
Ah, kalau penasaran. Ayo dicoba saja. Siapa tahu teman-teman juga bisa merasakan “sensasi indah” ketika menemukan “AHA!” ini. Masya Allah. Merinding disko, ruar biasa! 



"Wanita di Lautan Sunyi"
Penerbit: Quanta-imprint Elex Media Komputindo
Harga: Rp54.800
Beredar April 2014

Beli ya  ;)  

Sunday 13 April 2014

Nikmati Saja Prosesmu

Menjadi penulis itu perlu "proses". Bukan sesuatu yang instan. Voila! Langsung jadi.

Kita tidur, mimpi menulis buku best seller, lalu waktu bangun bisa langsung menulis. Maka, jadilah kita penulis.

Eh, adakah yang seperti itu?

Pada awalnya, mungkin karena kita suka sekali membaca. Membaca apa saja. Membaca buku, majalah, surat kabar bekas, potongan tulisan bekas bungkus cabe, papan iklan di jalan *itu sih saya :p Hahaha*

Lalu, muncul keinginan untuk menulis. Kayaknya asyik kalau saya jadi penulis dan tulisan saya dibaca orang lain.

Mungkin berawal dari menulis di lembaran paling belakang buku tulis, menulis diary, teruuuus.

Lalu, mulailah kita membuat tulisan pendek--cerpen atau puisi. Kemudian terus meningkat dan berlanjut.

Hingga pada akhirnya, kita mengenali "suara kita" dalam tulisan itu. Ya, kita telah menemukan ciri khas kita.

Setelah itu, mungkin kita masih memerlukan waktu beberapa tahun lagi untuk teruuuus berproses menjadi penulis. Mencoba lalu gagal! Mencoba lagi dan mendapatkan penolakan!

Pahit? Ya! Kapok? Tentu tidak! Ah, semoga saja tidak.

Jadi, kalau saat ini kita merasa proses itu masih jauuuuh. Saya katakan, proses itu tidak akan pernah ada ujungnya. Seorang penulis yang baik adalah seorang pembelajar sejati.

Dia harus terus belajar dari pengalaman--diri sendiri maupun orang lain. Belajar dari bacaannya. Belajar dari mana saja.

Kalau saat ini tembok kegagalan dan kejenuhan yang kita temukan. Maka, percayalah di balik tembok itu ada keberhasilan dan kesenangan yang akan kita dapatkan.

Tetapi, pilihan ada di tangan kita. Mau terus berjalan, atau berhenti?

Panjang sekali yak tulisan saya?
Padahal saya hanya ingin mengatakan, nikmati saja prosesmu.


Salam semangat!

Friday 27 January 2012

Info dari Indiva Media Kreasi

Assalamu'alaikum...

Salam buku!
Bagi teman-teman yang memiliki naskah dengan segmen perempuan, remaja dan anak, silahkan menulis di Penerbit Indiva Media Kreasi. Kami menerima naskah dengan tema:
1. Fiksi dewasa/remaja (bukan kumcer)
2. Motivasi
3. Pernikahan/ rumah tangga
4. Parenting
5. Panduan remaja
6. Keagamaan
7. Cerita anak usia SD
Kirimkan naskah terbaik Anda minimal 100 hal atau 75 hal (buku anak) ukuran kertas A4 spasi 1,5 font time new roman 12 ke redaksi_indiva@yahoo.com

Info lebih lanjut silahkan hub kontak kami:

PT Indiva Media Kreasi
Jl. Sawo Raya no. 10 Surakarta
Telp. (0271)7055584
Email: redaksi_indiva@yahoo.com
Twitter: @penerbitindiva
www.indivamediakreasi.com

Wa'alaikumussalam
Afifah Afra
(CEO)

Thursday 26 January 2012

Hari Libur di Jepang

Dulu, saya pikir di Jepang itu tidak ada hari liburnya (tanggal merah), seperti di tanah air. Ternyata saya salah. Kalender Jepang banyak sekali tanggal merahnya, terkait dengan perayaan (matsuri) atau hari-hari penting dalam budaya mereka. Selain itu, Jepang juga "menganut" sistem Happy Monday. Jadi, kalau tanggal merah kebetulan jatuh pada hari Sabtu atau Minggu, maka hari Seninnya libur untuk menggantikan. Asyiiiik kan? ♥ ♥
 

Info Mizan Publishing House

Kriteria Pengajuan Naskah Non Fiksi
Per 1 Januari 2012

Kriteria naskah:

Isi naskah dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Naskah ditulis secara logis dan sistematis dan karya asli. Belum pernah dipublikasikan penerbit lain. Memiliki rujukan yang jelas. Memiliki orisinalitas atau kebaruan. Memiliki peluang pasar (marketabilitas) yang bagus. Tulisan utuh/padu (monograf), bukan kumpulan tulisan. Bukan karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi).
 
Kriteria & Prosedur Pengajuan Naskah Novel
Per 1 Januari 2012

Kriteria naskah:

Naskah harus karya asli Belum pernah dipublikasikan penerbit lain. Memiliki cerita yang unik dan tidak klise. Naskah ditulis dengan rapi (logis dan sistematis). Memiliki peluang pasar (marketabilitas) yang bagus. Tulisan utuh/padu (monograf), bukan kumpulan tulisan. Tidak menimbulkan kontroversi, terutama berhubungan dengan moral dan agama. Sertakan Sinopsis.


Prosedur Pengajuan Naskah:
(Jika naskah telah memenuhi kriteria tersebut di atas)

Surat pengantar. CV (Daftar Riwayat Hidup) dengan alamat lengkap nomor telepon yang dapat dihubungi. Naskah: Keseluruhan isi naskah. Berupa fotokopi (bukan asli/master), hard-copy atau print-out (redaksi belum melayani naskah via email jikapun ya redaksi lebih mendahulukan utk mengevaluasi naskah yg dikirim dalam bentuk hardcopy), diketik komputer (bukan ketikan mesin tik manual). Kirim ke: Redaksi Penerbit Mizan

-U.p. Bpk. Andityas Prabantoro, redaksi tidak menerima naskah PUISI (untuk naskah bertema keislaman dan dewasa (umum))
-U.p. Bpk. Benny Rhamdani (untuk naskah bertema umum (remaja), novel, cerpen, remaja, anak) persyaratan tambahan untuk naskah remaja dan anak: panjang naskah minimal 70 hal, maksimal 150 halaman, spasi satu, font times new roman 12pt, A4.

     1. Novel anak: petualangan yang seru dan lucu berbau detektif (modern, lincah, humor)
     2.  Ilustrated book: kisah-kisah menakjubkan yang cocok buat anak.
     3.  Buku penunjang pelajaran SD yang disajikan dengan gaya populer.
     Untuk lebih memahami trend saat ini silakan baca dan lihat produk2 terbaru DAR!

Alamat: Jl. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan) Bandung 40294
Telp. (022) 7834310


Keterangan:
  Jangka waktu evaluasi naskah kurang lebih 3 bulan. secara bertahap akan kami upayakan agar maksimal respons dalam waktu 1 bulan Jika Redaksi menolak penerbitan naskah, akan kita kabari via surat atau telepon., bahan naskah tidak akan dikirimkan kembali kecuali disertai perangko yang mencukupi. Apabila naskah layak terbit, kami akan kabari via surat dan telepon dan dillanjutkan dengan pembuatan Surat Perjanjian Penerbitan.

Sumber: dari blognya Mba Nunik Utami Ambarwati