Buat yang sudah pernah membaca novel saya "Wanita di Lautan Sunyi", pasti tahu nama desa kecil ini. Desa yang saya jadikan setting tempat dalam novel tersebut.
Sangkulirang bukanlah sebuah tempat fiksi, ia sungguh ada. Terletak di dekat Tanjung Mangkaliat, pantai timur Kaltim. Desa yang sangat bersejarah bagi saya, tempat saya lahir dan dibesarkan. Saya meninggalkan Sangkulirang sekitar tahun 1985. Seluruh keluarga besar pindah ke Samarinda. Sejak saat itu, saya belum pernah pulang lagi. Meski kenangan tentangnya tak pernah hilang dari ingatan.
Dahulu, untuk sampai ke Sangkulirang, kami harus naik kapal kayu. Melintasi sungai, lalu menuju Laut Sulawesi. Dari Samarinda berangkat sekitar pukul 15.00. Semalaman kami akan terombang ambing di lautan tak bertepi. Kalau cuaca bersahabat dan gelombang tak tinggi, sekitar pukul 11.00 pagi, kapal kami akan merapat di pelabuhan sekaligus pasar Sangkulirang.
Meski jauh dari kota, Sangkulirang bukanlah desa terbelakang. Saat PLN belum masuk dulu, desa ini telah terang benderang dialiri listrik dari mesin diesel milik beberapa warga. Siaran televisi Malaysia dan tayangan film laga atau India dari pemutar video adalah tontonan favorit. Jalan utama telah diaspal. Kapal-kapal besar berbendera Jepang atau Korea sering sekali merapat. Mengangkut kayu dan hasil bumi lainnya. Masyarakatnya dinamis dan terbuka pada perubahan. Sebagian besar penduduk asli Sangkulirang, terikat pertalian keluarga.
Samar-samar bayangan Sangkuliran hadir lagi. Beberapa peristiwa masa kecil kembali berputar.
Pernah suatu siang, orang-orang berlarian menuju sumur di samping Balai Desa. Wajah-wajah panik para lelaki, ditingkahi teriakan anak-anak.
"Ada anak tenggelam masuk sumur! Ada yang tenggelam masuk sumur!"
Semua tegang, bergotongroyong mencoba menyelamatkan. Mengulurkan tali. Menguras isi sumur. Ada juga yang menceburkan diri ke dalam sumur. Namun, anak itu tak selamat. Saat diangkat dari dalam sumur, ibunya menangis tersedu-sedu. Suara tangisnya begitu menyayat. Suara tangisan yang sampai sekarang rasanya tak mau lepas dari memori saya.
Hingga berbulan-bulan, kejadian itu menjadi semacam teror bagi kami. Sumur-sumur dipagar siring tinggi. Orangtua menjadi paranoid, melarang kami anak-anak kecil, bahkan hanya sekadar mendekati sumur.
Teror lain yang menghantui kami dulu adalah, bila musim ombak mengamuk di lautan. Rasanya desa kecil kami benar-benar jauh dari mana-mana. Terisolasi. Berita orang hilang ditelan ombak ganas begitu menakutkan. Hilang tak ditemukan, tanpa berita. Meninggalkan nelangsa panjang bagi keluarganya.
Suatu pagi buta, pernah juga terdengar teriakan-teriakan murka di jalanan. Suara kaki-kaki berlari tergesa. Kami, anak-anak meringkuk takut dalam pelukan ibu. Dalam hati bertanya-tanya, "Ada apa?" Dan paginya, kami melihat darah segar berceceran di jalanan. Rupanya terjadi perkelahian antar warga suku pendatang. Dendam tak berkesudahan antar keluarga.
Sangkulirang adalah desa kecil. Kabar peristiwa tragis, akan cepat menyebar dan seolah meneror warga. Tak ada warga bercengkerama usai shalat Isya di masjid. Malam menjadi lebih sunyi.
Lama saya tak mendengar kabar tentang Sangkulirang, Sungguh, rasanya seperti tersengat ketika mendengar berita tentang Neysa Nur Azlya. Mata saya langsung melotot dan jantung berdegup kencang. Azly, gadis kecil 4 tahun yang bercita-cita menjadi hafizhah itu, tinggal di Sangkulirang.
Kamis, 7 Juli 2016, Azly kecil menghilang dari rumah. Di tengah keceriaan silaturrahiim dan Idul Fitri, ia dibawa entah ke mana. Saksi yang melihat mengatakan seorang lelaki tetangga dekat Azly, membawanya naik sepeda motor. Wallahu a`lam, apakah memang lelaki itu yang menghabisi Azly.
Neysa Nur Azlya Allahu yarham
Lalu, 10 Juli, tersiarlah kabar Azly telah ditemukan tak bernyawa. Saya menangis terisak. Membayangkan, ibu Sabnah, ibunda Azly. Pasti hancur hatinya mendapati buah hatinya dalam kondisi tewas karena disiksa dan dibakar penculiknya.
Suara tangisan ibu yang anaknya tenggelam di sumur dulu, seolah bisa saya dengar kembali di telinga. Menggema, menyayat hati. Seolah film bergerak di ingatan, saya bisa melihat para lelaki berlarian mengangkat Azly kecil. Membawanya ke RS Pratama Sangkulirang. Saya seolah melihat wajah-wajah duka dan tegang itu. Wajah-wajah yang mungkin masih terdapat pertalian darah dengan saya.
TKP Azly ditemukan
Berdesakan tanya di pikiran saya. Apa salah Azly? Apa motif pelaku? Mengapa ia dibakar? Berbagai tanya yang semakin membuat sesak dada. Kepergiaan Azly yang tragis, saya yakin tidak hanya meremukkan hati keluarga dekatnya. Seluruh warga di Sangkulirang pasti merasa kehilangan. Dan hingga berbulan-bulan ke depan, kejadian ini menjelma menjadi teror menakutkan. Mungkin akan membuat para orangtua berubah paranoid. Melarang anak-anaknya bermain agak jauh dari rumah. Mengamati setiap aktivitas anaknya. Seperti yang kami alami dulu.
Orang yang diduga pelaku belum juga ditemukan. Ada yang mengatakan lelaki itu melarikan diri ke Sangatta. Ada pula yang menduga ia lari ke Berau. Teror semakin meluas dan menyebar. Bagaimana jika si pelaku kejam itu berbuat ulah di tempat lain?
Sungguh, saya berharap pihak berwajib segera menuntaskan kasus ini. Menghukum pelaku dengan hukuman berat, agar menimbulkan efek jera. Masih segar ingatan kita dengan kisah kematian Angelina yang menghebohkan. Hanya sebentar perhatian kita tertuju ke sana. Lalu, kasusnya menghilang dari beranda kita, ditelan peristiwa lainnya. Kini, ada kisah Azly kecil yang malang. Dan tentu kita semua berharap, kejadian tragis seperti ini tak pernah lagi menimpa anak-anak kita.
Foto-foto saya ambil dari sini:
http://kaltim.tribunnews.com/2016/07/11/jasad-azly-ditemukan-terbakar-keluarga-tolak-otopsi
http://www.jpnn.com/read/2016/07/11/452957/Hilang-Balita-Cantik-Ditemukan-Terpanggang-Diperkosa-